Minggu, 22 Februari 2015

Ikterus




BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka kematian bayi ( AKB ) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin ( lebih dikenal sebagai kernikterus ). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada  neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
B.     Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65 % mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75 % bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58 %  untuk kadar bilirubin di atas 5 mg / dL dan 29,3 % dengan kadar bilirubin di atas 12 mg / dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85 % bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg / dL dan 23,8 % memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg / dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82 % dan 18,6 % bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95 % dan 56 % bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal ( 8,5 % ) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24 % kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7 %, 78 % di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian  terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1 %. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya  sebesar 30 % pada tahun 2000 dan 13 % pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg / dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C.     Jenis – jenis Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum sendiri ada 2 jenis yang berbeda tanda, penyebab dan penanganannya. Ke - 2 jenis tersebut adalah :
1.      Ikterus Neonatorum Fisiologis
Adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir.Ikterus ini terjadi atau timbul pada hari ke - 2 atau ke - 3 dan tampak jelas pada hari ke - 5 sampai dengan ke - 6 dan akan menghilang pada hari ke - 7 atau ke - 10. Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg / dl dan pada BBLR tidak lebih dari 10 mg / dl, dan akan menghilang pada hari ke - 14. Bayi tampak biasa, minum baik dan berat badan naik biasa.
Penyebab ikterus neonatorum fisiologis diantaranya adalah organ hati yang belum “ matang ” dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronyl tranferase yang belum cukup jumlahnya. Meskipun merupakan gejala fisiologis, orang tua bayi harus tetap waspada karena keadaan fisiologis ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi patologis terutama pada keadaan ikterus yang disebabkan oleh karena penyakit atau infeksi.
2.       Ikterus Neonatorum Patologis
Adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor penyakit atau infeksi.
a.       Ikterus neonatorum patologis ini ditandai dengan :
1)      Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan; serum bilirubin total lebih dari 12 mg / dl.
2)      Peningkatan kadar bilirubin 5 mg / dl atau lebih dalam 24 jam.
3)      Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan ( BBLR ) dan 12,5 mg % pada bayi cukup bulan.
4)      Ikterus yang disertai proses hemolisis.
5)      Bilirubin direk lebih dari 1 mg / dl, atau kenaikan bilirubin serum 1 mg / dl / jam atau lebih 5 mg / dl / hari.
6)      Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( cukup bulan ) dan lebih dari 14 hari pada BBLR.
b.      Dibawah ini adalah beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis :
1)      Penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan anak seperti Rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
2)      Kelainan dalam sel darah merah seperti pada defisiensi G – 6 - PD, thalasemia dan lain-lain.
3)      Hemolisis : hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
4)      Infeksi : septikemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena toxoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan lain-lain.
5)      Kelainan metabolik : hipoglikemia, galaktosemia.
6)      Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti : solfonamida, salisilat, sodium benzoat, gentamisin dsb.
7)      Pirau enterohepatik yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit Hirschprung, mekoneum ileus dan lain-lain.
D.    Gejala dan tanda klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
  1. Dehidrasi
Asupan kalori tidak adekuat ( misalnya: kurang minum, muntah-muntah )
  1. Pucat
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik ( mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD ) atau kehilangan darah ekstravaskular.
  1. Trauma lahir
Bruising, sefalhematom ( peradarahn kepala ), perdarahan tertutup lainnya.
  1. Pletorik ( penumpukan darah )
Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
  1. Letargik dan gejala sepsis lainnya
  2. Petekiae ( bintik merah di kulit )
Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
  1. Mikrosefali ( ukuran kepala lebih kecil dari normal )
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
  1. Hepatosplenomegali ( pembesaran hati dan limpa )
  2. Omfalitis ( peradangan umbilicus )
  3. Hipotiroidisme ( defisiensi aktivitas tiroid )
  4. Massa abdominal kanan ( sering berkaitan dengan duktus koledokus )
  5. Feses dempul disertai urin warna coklat
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
E.     Etiologi dan Faktor Risiko
1.      Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
a.       Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
b.      Fungsi hepar yang belum sempurna ( jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG / T dan ligand dalam protein belum adekuat )  - > penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
c.       Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim - > glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan ( ikterus nonfisiologis ) dapat disebabkan
oleh factor / keadaan:
a.       Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
b.      Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
c.       Polisitemia.
d.      Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
e.       Ibu diabetes.
f.       Asidosis.
g.      Hipoksia/asfiksia.
h.      Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2.      Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a.       Faktor Maternal
1)      Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native American,Yunani )
2)      Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO dan Rh )
3)      Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
4)      ASI
b.      Faktor Perinatal
1)      Trauma lahir ( sefalhematom, ekimosis )
2)      Infeksi ( bakteri, virus, protozoa )
c.       Faktor Neonatus
1)      Prematuritas
2)      Faktor genetic
3)      Polisitemia
4)      Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol )
5)      Rendahnya asupan ASI
6)      Hipoglikemia
7)      Hipoalbuminemia
F.      Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis DNA.  Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.   
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
G.    Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1.      Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8 - 12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan ( air, susu botol maupun dekstrosa ) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2.      Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
a.       Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
b.      Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi  sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
H.    Tatalaksana
Pada bayi baru lahir dengan warna kekuningan fisiologis, tidak berbahaya dan tidak diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya. Prinsip pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir adalah menghilangkan penyebabnya.
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan mempercepat proses konjugasi.
1.      Pemberian ASI ( Air Susu Ibu )
Pada bayi yang kuning sebagian ibu-ibu menghentikan pemberian ASI. Justru pemberian ASI tidak boleh dihentikan, bahkan harus ditingkatkan ( lebih kurang 10 - 12 kali sehari ). Banyak minum ASI dapat membantu menurunkan kadar bilirubin, karena bilirubin dapat dikeluarkan melalui air kencing dan kotoran bayi. Sedangkan pemberian banyak air putih tidak akan  menurunkan kadar bilirubin.
2.      Terapi sinar
Dilakukan di klinik atau rumah sakit. Caranya yaitu dengan memberikan sinar lampu berspektrum 400 - 500 nanometer pada kulit bayi. Dengan terapi sinar bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah sehingga mudah larut dalam air, dieksresikan dengan cepat ke dalam kandung empedu dan dikeluarkan dari dalam tubuh.
3.      Transfusi tukar
Ialah suatu tindakan mengganti darah bayi yang mengandung kadar bilirubin yang sangat tinggi ( lebih dari 20 mg / dl pada bayi usia 2 hari, lebih dari 25 mg / dl pada bayi usia lebih dari 2 hari ) dengan darah donor yang sesuai dengan darah bayi.
4.      Terapi dengan sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari saat ini masih menjadi perdebatan. Dasar pemberian sinar matahari karena sinar matahari mempunyai panjang gelombang sekitar 450-460 nm. Sinar yang mempunyai spektrum emisi pada panjang gelombang tersebut ( warna biru, putih dan sinar matahari ), akan memecah bilirubin menjadi zat yang mudah larut dalam air.
Bayi yang kuning dengan kadar fisiologis, dapat dijemur di bawah sinar matahari pagi antara pukul 07.00 sampai 08.00, adalah merupakan waktu yang paling efektif, jadi tidak dapat sepanjang waktu, serta belum terlalu panas. Penjemuran biasanya diberikan  selama lebih kurang 15 hingga 30 menit. Bayi dijemur tanpa busana, lindungi mata dan kemaluan bayi dari sorot sinar matahari secara langsung.
Beberapa ahli yang tidak setuju dengan penjemuran, berpendapat bahwa meletakkan bayi dibawah sinar matahari tidak akan menurunkan kadar bilirubin dalam darah. Malahan sinar matahari tersebut akan menyebabkan luka bakar pada kulit. Selain itu bayi akan kedinginan. Oleh karena itu yang terpenting ialah memberikan ASI secara cukup dan teratur pada bayi-bayi yang kuning, bahkan dengan frekuensi yang lebih ditingkatkan.
Kuning ialah suatu pertanda, merupakan proses alamiah walaupun  dapat pula menjadi sesuatu yang patologis. Yang penting diperhatikan ialah kuning harus dapat dikendalikan sehingga tidak menjadikan bahaya. Penjemuran dengan sinar matahari masih dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang menjadi kontra indikasi. 
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum Fisiologis ( WHO )
1.      Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
2.      Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
3.      Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
a.          Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
b.         Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
c.          Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
4.      Tentukan diagnosis banding.
I.       Komplikasi
Jika bayi kuning patologis tidak mendapatkan pengobatan, maka akan terjadi penyakit  kern ikterus. Kern ikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak terkonjugasi dalam sel-sel otak. Kern ikterus dapat menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan pendengaran, keterbelakangan mental dan gangguan tingkah laku.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. Ikterus dapat menjadi komplikasi bila tidak segera ditangani, namun hal itu tidak terjadi bila dilakukan terapi yaitu dengan pemberian ASI secara dini, terapi sinar, transfuse tukar, dan terapi dengan sinar matahari.
B.     Saran
Diperlukan ketelitian sebagai orang tua untuk segera memeriksakan bayinya kepelayanan kesehatan bila bayi tampak kuning sehingga tidak sampai terjadi komplikasi. Mengingat ikterus dapat dicegah Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8 - 12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Lia., 1 Desember 2010. http://www.klikdokter.com/illness/detail/212,  20 Juni 2010, 16.30
Nugraheny,Esti, dkk..2010. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Rihana
Depkes RI. 2003. Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan, dan Perawat di Rumah Sakit. Jakarta: IDAI

0 komentar:

Posting Komentar

Text Widget

anda pengunjung yang ke -

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Search