BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka kematian bayi ( AKB ) di Indonesia, pada
tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya
mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah
menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun
2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab
mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin ( lebih dikenal
sebagai kernikterus ). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus
neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi,
juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi,
paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis
yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama
masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3
kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil
(bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami
ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada
menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat
dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan
kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus
fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi
cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi,
penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ikterus adalah warna kuning pada
kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan
hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin yang tidak dikendalikan.
B.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir
setiap tahunnya, sekitar 65 % mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan
pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75 % bayi baru lahir
mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional
yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo
selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58
% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg / dL dan 29,3 % dengan kadar
bilirubin di atas 12 mg / dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85 % bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di
atas 5 mg / dL dan 23,8 % memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg / dL.
Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin
setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82 % dan
18,6 % bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus
dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95 % dan 56 % bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal ( 8,5 % ) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24 % kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr.
Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7 %,
78 % di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis.
Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1 %. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan
22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo
Surabaya sebesar 30 % pada tahun 2000 dan 13 % pada tahun 2002. Perbedaan
angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang
berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar
bilirubin serum total > 5 mg / dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode
spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus
berdasarkan metode visual.
C. Jenis –
jenis Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum sendiri ada 2 jenis yang berbeda tanda,
penyebab dan penanganannya. Ke - 2
jenis tersebut adalah :
1.
Ikterus
Neonatorum Fisiologis
Adalah keadaan hiperbilirubin karena
faktor fisiologis yang
merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir.Ikterus ini terjadi atau timbul pada
hari ke - 2 atau ke - 3 dan tampak jelas pada hari ke - 5 sampai dengan ke - 6
dan akan menghilang pada hari ke - 7 atau ke - 10. Kadar bilirubin serum pada bayi
cukup bulan tidak lebih dari 12 mg / dl dan pada BBLR tidak lebih dari 10 mg / dl,
dan akan menghilang pada hari ke - 14. Bayi tampak biasa, minum baik dan berat badan naik biasa.
Penyebab ikterus neonatorum
fisiologis diantaranya adalah organ hati yang belum “ matang ” dalam memproses
bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronyl tranferase yang belum
cukup jumlahnya. Meskipun merupakan gejala fisiologis, orang tua bayi harus
tetap waspada karena keadaan fisiologis ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi
patologis terutama pada keadaan ikterus yang disebabkan oleh karena penyakit atau infeksi.
2.
Ikterus Neonatorum Patologis
Adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor penyakit atau infeksi.
a. Ikterus neonatorum patologis ini ditandai dengan :
1) Ikterus timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan; serum bilirubin total
lebih dari 12 mg / dl.
2) Peningkatan kadar bilirubin 5 mg / dl
atau lebih dalam 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum melebihi
10 mg % pada bayi kurang bulan ( BBLR ) dan 12,5 mg % pada bayi cukup bulan.
4) Ikterus yang disertai proses hemolisis.
5) Bilirubin direk lebih dari 1 mg / dl,
atau kenaikan bilirubin serum 1 mg / dl / jam atau lebih 5 mg / dl / hari.
6) Ikterus menetap sesudah bayi berumur
10 hari ( cukup bulan ) dan lebih dari 14 hari pada BBLR.
b. Dibawah ini adalah beberapa keadaan
yang menimbulkan ikterus patologis :
1) Penyakit hemolitik, isoantibodi
karena ketidakcocokan golongan
darah ibu dan anak
seperti Rhesus antagonis,
ABO dan sebagainya.
2) Kelainan dalam sel darah merah seperti
pada defisiensi G – 6 - PD,
thalasemia dan lain-lain.
3) Hemolisis : hematoma, polisitemia,
perdarahan karena trauma lahir.
4) Infeksi : septikemia, meningitis,
infeksi saluran kemih, penyakit karena toxoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan lain-lain.
5) Kelainan metabolik : hipoglikemia, galaktosemia.
6) Obat-obatan yang menggantikan ikatan
bilirubin dengan albumin seperti : solfonamida, salisilat, sodium benzoat, gentamisin dsb.
7) Pirau enterohepatik yang meninggi:
obstruksi usus letak tinggi, penyakit Hirschprung, mekoneum ileus dan
lain-lain.
D.
Gejala
dan tanda klinis
Gejala
utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat
pula disertai dengan gejala-gejala:
- Dehidrasi
Asupan kalori tidak adekuat ( misalnya:
kurang minum, muntah-muntah )
- Pucat
Sering berkaitan dengan anemia
hemolitik ( mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD )
atau kehilangan darah ekstravaskular.
- Trauma lahir
Bruising, sefalhematom ( peradarahn
kepala ), perdarahan tertutup lainnya.
- Pletorik ( penumpukan darah )
Polisitemia, yang dapat disebabkan
oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
- Letargik dan gejala sepsis lainnya
- Petekiae ( bintik merah di kulit )
Sering dikaitkan dengan infeksi
congenital, sepsis atau eritroblastosis
- Mikrosefali ( ukuran kepala lebih kecil dari normal )
Sering berkaitan dengan anemia
hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
- Hepatosplenomegali ( pembesaran hati dan limpa )
- Omfalitis ( peradangan umbilicus )
- Hipotiroidisme ( defisiensi aktivitas tiroid )
- Massa abdominal kanan ( sering berkaitan dengan duktus koledokus )
- Feses dempul disertai urin warna coklat
Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
E. Etiologi dan Faktor Risiko
1.
Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada
setiap bayi baru lahir, karena:
a. Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah
merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
b. Fungsi hepar yang belum sempurna ( jumlah dan
fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG / T dan ligand dalam protein belum
adekuat ) - > penurunan ambilan
bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih
berfungsinya enzim - > glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin
yang berlebihan ( ikterus nonfisiologis ) dapat disebabkan
oleh factor / keadaan:
a. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau
isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
b. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis,
infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
c. Polisitemia.
d. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom,
kontusio, trauma lahir.
e. Ibu diabetes.
f. Asidosis.
g. Hipoksia/asfiksia.
h. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2.
Faktor
Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus
neonatorum:
a. Faktor Maternal
1) Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native
American,Yunani )
2) Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO
dan Rh )
3) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan
hipotonik.
4) ASI
b. Faktor Perinatal
1) Trauma lahir ( sefalhematom, ekimosis )
2) Infeksi ( bakteri, virus, protozoa )
c. Faktor Neonatus
1) Prematuritas
2) Faktor genetic
3) Polisitemia
4) Obat ( streptomisin, kloramfenikol,
benzyl-alkohol, sulfisoxazol )
5) Rendahnya asupan ASI
6) Hipoglikemia
7) Hipoalbuminemia
F. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada
hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,
meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA.
Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf
(terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli
saraf.
Kerusakan jaringan otak yang
terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini
disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan
lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati
bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata
laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal
ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel
neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian
sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan
pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin
plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara
peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah
diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin
total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik
yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin
pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti.
Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan
bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi
efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang
tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang
sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena
ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami
ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan
manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
G. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila
terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP
dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1.
Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua
bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi
ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8 - 12 kali sehari selama beberapa hari
pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan
dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus
neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan
keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif
bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan ( air,
susu botol maupun dekstrosa ) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan
tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan
kadar bilirubin serum.
2.
Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik
pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
a. Pemeriksaan Golongan
Darah
Semua wanita hamil harus
menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining
antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah
selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan
darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu
dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat
dilakukan tes Coombs.
b. Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa
semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus.
Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan
pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus
dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna
kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup
terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya
hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi.
Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal
dan ekstrimitas.
H. Tatalaksana
Pada bayi
baru lahir dengan warna kekuningan fisiologis, tidak berbahaya dan tidak
diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Prinsip pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir adalah menghilangkan
penyebabnya.
Tujuan
utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar
bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan
kernikterus/encefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus
tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan mempercepat proses
konjugasi.
1. Pemberian ASI ( Air Susu Ibu )
Pada bayi yang kuning sebagian
ibu-ibu menghentikan pemberian ASI. Justru pemberian ASI tidak boleh dihentikan,
bahkan harus ditingkatkan ( lebih kurang 10 -
12 kali sehari ). Banyak minum ASI dapat membantu
menurunkan kadar bilirubin, karena bilirubin dapat dikeluarkan melalui air
kencing dan kotoran bayi. Sedangkan pemberian banyak air putih
tidak akan menurunkan kadar bilirubin.
2. Terapi sinar
Dilakukan di
klinik atau rumah sakit. Caranya yaitu dengan memberikan sinar lampu
berspektrum 400 - 500 nanometer pada kulit bayi. Dengan terapi sinar bilirubin
dalam tubuh bayi dapat dipecah sehingga mudah larut dalam air, dieksresikan
dengan cepat ke dalam kandung empedu dan dikeluarkan dari dalam tubuh.
3. Transfusi tukar
Ialah suatu
tindakan mengganti darah bayi yang mengandung kadar bilirubin yang sangat
tinggi ( lebih dari 20 mg / dl pada bayi usia 2 hari, lebih dari 25 mg / dl
pada bayi usia lebih dari 2 hari ) dengan darah donor yang sesuai dengan darah
bayi.
4. Terapi dengan sinar matahari
Terapi dengan
sinar matahari saat ini masih menjadi perdebatan. Dasar pemberian sinar
matahari karena sinar matahari mempunyai panjang gelombang sekitar 450-460 nm.
Sinar yang mempunyai spektrum emisi pada panjang gelombang tersebut ( warna biru,
putih dan sinar matahari ), akan memecah bilirubin menjadi zat yang mudah larut
dalam air.
Bayi yang kuning dengan kadar
fisiologis, dapat dijemur di bawah sinar matahari pagi antara pukul 07.00
sampai 08.00, adalah
merupakan waktu yang paling efektif, jadi tidak dapat sepanjang waktu, serta
belum terlalu panas. Penjemuran biasanya diberikan selama lebih kurang 15
hingga 30 menit.
Bayi dijemur tanpa busana, lindungi mata dan kemaluan bayi dari sorot sinar matahari
secara langsung.
Beberapa ahli
yang tidak setuju dengan penjemuran, berpendapat bahwa meletakkan bayi dibawah sinar
matahari tidak akan menurunkan kadar bilirubin dalam darah. Malahan sinar
matahari tersebut akan menyebabkan luka bakar pada kulit. Selain itu bayi akan
kedinginan. Oleh karena itu yang terpenting ialah memberikan ASI secara cukup
dan teratur pada
bayi-bayi yang
kuning, bahkan dengan frekuensi yang lebih ditingkatkan.
Kuning ialah suatu
pertanda, merupakan proses alamiah walaupun dapat pula menjadi sesuatu
yang patologis. Yang penting diperhatikan ialah kuning harus dapat dikendalikan sehingga tidak
menjadikan bahaya. Penjemuran dengan sinar matahari masih dapat dilakukan
dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang menjadi kontra indikasi.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum Fisiologis ( WHO )
1.
Mulai
terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
2.
Tentukan
apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
3.
Ambil
contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
a.
Bila
kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
b.
Bila
kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
c.
Bila
faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau
bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan.
4.
Tentukan
diagnosis banding.
I.
Komplikasi
Jika bayi kuning patologis tidak
mendapatkan pengobatan, maka akan terjadi penyakit kern ikterus. Kern ikterus
adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak
terkonjugasi dalam sel-sel otak. Kern ikterus dapat menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan pendengaran,
keterbelakangan mental dan gangguan tingkah laku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan
selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah
ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak
dikendalikan. Ikterus dapat menjadi komplikasi bila tidak segera ditangani,
namun hal itu tidak terjadi bila dilakukan terapi yaitu dengan pemberian ASI
secara dini, terapi sinar, transfuse tukar, dan terapi dengan sinar matahari.
B. Saran
Diperlukan
ketelitian sebagai orang tua untuk segera memeriksakan bayinya kepelayanan kesehatan
bila bayi tampak kuning sehingga tidak sampai terjadi komplikasi. Mengingat
ikterus dapat dicegah Dokter
dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8 - 12
kali sehari selama beberapa hari pertama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. http://www.smallcrab.com/anak-anak/535 Mengenal Ikterus Neonatorum. 20 Juni
2010,16.00
Lia., 1
Desember 2010. http://www.klikdokter.com/illness/detail/212, 20 Juni 2010, 16.30
Nugraheny,Esti, dkk..2010. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Rihana
Depkes RI. 2003. Buku
Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan, dan Perawat di
Rumah Sakit. Jakarta: IDAI
0 komentar:
Posting Komentar