F A R O I D H
(waris)
Karangan : As-Sayyid Sabiq
Cetakan
2 -- Bandung:
Alma'arif, 1988
DAFTAR ISI
1
DEFINISI
2 LEGALITAS ILMU
FAROIDH
3 KEUTAMAAN ILMU FAROIDH
4
PENINGGALAN (TIRKAH)
5
HAK-HAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
6 RUKUN
WARIS
7
SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH WARISAN
8
SYARAT-SYARAT PEWARISAN
9
PENGHALANG-PENGHALANG PEWARISAN
10 ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA WARISAN
11 ASHHAABUL FURUUDH
11.1 AYAH
11.2 KAKEK YANG SHAHIH
11.3 SAUDARA SEIBU
11.4 SAUDARA LAKI-LAKI/PEREMPUAN SEIBU (KALALAH)
11.5 SUAMI
11.6 ISTERI
11.7 ANAK PEREMPUAN YANG SHULBIYAH
11.8 SAUDARA PEREMPUAN SEKANDUNG
11.9 SAUDARA-SAUDARA PEREMPUAN SEAYAH
11.10 ANAK-ANAK PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI
11.11 IBU
11.12 NENEK
12 'ASHOBAH
12.1 DEFINISI
12.2 PEMBAGIAN 'ASHOBAH
12.3 'ASHOBAH NASABIYAH
12.4 'ASHOBAH BINAFSIH
12.5 'ASHOBAH BIGHOIRIH
12.6 'ASHOBAH MA'AGHOIRIH
12.7 CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
12.8 'ASHOBAH SABABIYAH
13 HAJBU DAN HIRMAN
13.1 DEFINISI
13.2 PEMBAGIAN HAJBU
13.3 PERBEDAAN ANTARA MAHRUM DAN MAHJUUB
14 'AUL
14.1 DEFINISI
14.2 CONTOH-CONTOH MASALAH 'AUL
14.3 CARA PEMECAHAN MASALAH-MASALAH 'AUL
15 RODD
15.1 DEFINISI
15.2 RUKUNNYA
15.3 PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG RADD
15.4 CARA MEMECAHKAN MASALAH-MASALAH RADD
16 KANDUNGAN (HAMLU)
16.1 HUKUMNYA DALAM PEWARISAN
16.2 KANDUNGAN YANG LAHIR DARI PERUT IBU
16.3 KANDUNGAN YANG BERADA DALAM PERUT IBU
16.4 BATAS WAKTU MAKSIMAL DAN MINIMAL BAGI
KANDUNGAN
FAROIDH
1.
DEFINISI
Faroidh adalah jamak dari faridhoh. Faridhoh diambil dari kata fardh yang artinya
taqdir (ketentuan).
Fardh secara syar'ie adalah bagian yang
telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris ('ilmu
miirats) dan ilmu Faroidh.
Dari Penyusun:
Kondisi di Indonesia masih banyak kaum
muslimin yang menyepelekan hukum waris.
Sebelum meninggal, membuat wasiat yang berisi pembagian waris yang mendurhakai
hukum Allah, seperti: tanah barat untuk si A, Rumah di jalan anu untuk si B,
padahal si A dan si B adalah ahli waris yang seharusnya dibagi menurut hukum
waris yang telah ditentukan Allah SWT.
Padahal secara tegas dalam surat An-Nisaa' ayat 14 yang merupakan
rangkaian dari ayat-ayat waris mengancam orang yang menyepelekan hukum Allah dengan
api neraka selama-lamanya:
"Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
rasul-Nya dan melanggar ketentuan- ketentuannya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal didalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan."
2. LEGALITAS
ILMU FAROIDH
Orang-orang Arab sebelum Islam hanya
memberikan warisan kepada kaum lelaki saja sedang kaum perempuan tidak
mendapatkannya, dan warisan hanya untuk mereka yang sudah dewasa, anak-anak
tidak mendapatkannya pula. Disamping itu ada juga waris-mewaris yang didasarkan
pada perjanjian. Maka Allah membatal- kan
itu semua dan menurunkan firman-Nya:
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang
pembagian pusaka untuk anak-anakkmu.
Yaitu bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perem-
puan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari satu, maka bagi mereka duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang
saja maka dia memperoleh separuh harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika orang yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (S. An-Nisa :
11)
(Asbabun-Nuzul ayat di atas tidak kami sertakan).
3. KEUTAMAAN ILMU FAROIDH
Dari Ibnu Mas'ud, dia berkata: Telah bersabda Rosululloh
saw: "Pelajarilah Al-Qur'an dan
ajarkanlah kepada manusia. Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia.
Karena aku adalah orang yang akan mati, sedang ilmupun akan diangkat. Hampir saja dua orang berselisih
tentang pembagian warisan dan masalahnya tidak menemukan sseorang yang
memberitahukannya kepada keduanya"
(HR
Ahmad).
Dari
'Abdulloh bin 'Amr, bahwa Rosululloh saw bersabda: "Ilmu itu ada tiga macam,
dan selain dari yang tiga itu adalah tambahan. (Yang tiga itu ialah) ayat yang jelas, sunnah yang datang dari nabi,
dan faroidhlah yang adil".
(HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairoh, bahwa Nabi saw bersabda:
"Pelajarilah Faroidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena Faroidh adalah
separuh dari ilmu dan akan dilupakan. Faroidhlah ilmu yang pertama kali dicabut
dari umatku". (HR Ibnu Majah dan Ad-Daroquthni).
4. PENINGGALAN (TIRKAH)
Peninggalan
(tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang mati) secara mutlak. Yang demikian itu ditetapkan oleh Ibnu
Hazm, katanya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan
kepada harta, bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia mati.
Adapun hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau
dalam pengertian harta, misalnya hak pakai, hak penghormatan, hak tinggal di
tanah yang dimonopoli untuk bangunan dan
tanaman. Menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, peninggalan si mayit, baik
hak harta benda maupun hak bukan harta benda.
5.
HAK-HAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN HARTA PENINGGALAN
Hak-hak yang berhubungan dengan harta
peninggalan itu ada empat. Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada
yang lebih kuat dari yang lain sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk
dikeluarkan dari peninggalan.
Hak-hak
tersebut menurut tertib berikut :
-
Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur dalam masalah
jenazah
-
Melunasi hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang kepada
Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang
kepada manusia. Orang-orang Hanafi
menggugurkan hutang kepada Allah dengan adanya kematian. Dengan demikian maka hutang kepada Allah itu
tidak wajib dibayar oleh ahli waris
kecuali apabila mereka secara sukarela membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit
untuk dibayarnya. Dengan diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang
dikeluarkan oleh ahli waris atau
pemelihara dari sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat dan hutang kepada manusia. Ini bila dia
mempunyai ahli waris. Apabila dia tidak
mempunyai ahli waris, maka wasiat hutang itu dikeluarkan dari seluruh
harta.
Orang-orang Hambali mempersamakan antara
hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat
bahwa hutang hamba yang bersifat 'aini
(hutang yang berhubungan dengan harta peninggalan) itu didahulukan atas hutang muthlak.
-
Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang dibayar.
-
Pembagian sisa harta di antara para ahli waris.
6.
RUKUN WARIS
Ada
tiga hal :
a.
Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab
kewarisan dengan mayit sehingga dia
memperoleh kewarisan.
b.
Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti
orang yang hilang dan dinyatakan mati.
c.
Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan.
Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari
yang mewariskan kepada pewaris.
7.
SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH WARISAN
Ada
tiga sebab :
a.
Nasab Hakiki (kerabat yang sebenarnya), firman Allah SWT:
"Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesamanya daripada yang bukan
kerabat di dalam Kitab Allah (S.8 : 75)
b.
Nasab Hukumi (wala = kerabat karena memerdekakan), sabada Rosululloh saw:
"Wala itu adalah kerabat seperti
kekerabatan karena nasab" (HR Ibnu Hibban
dan Al-Hakim dan dia menshahihkan pula).
c.
Perkawinan yang Shahih, firman Allah SWT:
Dan bagimu seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu.
(An-Nisaa' ayat 12)
8. SYARAT-SYARAT PEWARISAN
Ada tiga syarat
:
a. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara
nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian
seseorang yang hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang yang hilang sebagai
orang yang mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan seperti seseoran
memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan
mati; maka janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum
nyata.
b.
Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu
secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan
secara hukum dianggap hidup, karena
mungkin ruhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup
sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau
tertimbun; maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu
termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing mereka itu dibagikan
kepada ahli waris yang masih hidup.
c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
9. PENGHALANG-PENGHALANG PEWARISAN
Yang terhalang
untuk mendapatkan warisan adalah orang yang memenuhi sebab-sebab untuk
memperoleh warisan, akan tetapi dia kehilangan hak untuk memperoleh warisan. Orang yang demikian dinamakan MAHRUM.
Penghalang itu ada empat:
a.
Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
b.
Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan.
Apabila pewaris membunuh orang yang
mewariskan dengan cara zhalim, maka dia
tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw bersabda :
"Orang yang membunuh itu tidak
mendapatkan warisan sedikitpun".
Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka
para ulama berbeda pendapat di
dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan menghalangi
pewarisan, sekalipun pembunuhan itu
dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan
sekalipun dengan cara yang benar seperti had atau qishash. Mazhab Maliki
berkata: Sesungguhnya pembunuhan yang
menghalangi pewarisan itu adalah
pembunuhan yang sengaja bermusuhan, baik
langsung ataupun mengalami perantaraan. Undang-undang Warisan Mesir
mengambil pendapat ini dalam pasal lima belas, yang bunyinya
:
"Di antara penyebab yang menghalangi
pewarisan ialah membunuh orang yang
mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu pelaku utama, serikat,
ataupun saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan hukum bunuh dan
pelaksanaannya bagi orang yang mewariskan, jika pembunuhan itu pembunuhan yang
tidak benar atau tidak beralasan; sedang
pembunuh itu orang yang berakal dan sudah berumur lima belas tahun; kecuali
kalau dia melakukan hak membela diri yang sah.
c.
Berlainan Agama
Dengan demikian seorang muslim tidak
mewarisi dari orang kafir, dan seorang
kafir tidak mewarisi dari seorang muslim;
karena hadits yang diriwayatkan oleh
empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi saw bersabda: "Seorang muslim tidak mewarisi dari
seorang kafir, seorang kafirpun tidak
mewarisi dari seorang muslim".Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah,
Ibnul Musayyab, Masruq dan An-Nakha'i,
bahwa sesungguhnya seorang muslim itu
mewarisi dari seorang kafir; dan tidak sebalinya. Yang demikian itu
seperti halnya seorang muslim laki-laki
boleh menikah dengan seorang kafir perempuan
dan seorang kafir laki-laki tidak boleh
menikah dengan seorang muslim perem-
puan.Adapun orang-orang yang bukan muslim,
maka sebagian mereka mewarisi sebagian
yang lain, karena mereka dianggap satu agama.
d.
Berbeda Negara (Tidak menghalangi)
Yang dimaksud berbeda negara adalah berbeda kebangsaannya.
Perbedaan kebangsaan ini tidak menghalangi pewarisan di antara kalangan kaum
muslimin, karenaseorang muslim itu mewarisi dari seorang muslim, sekalipun jauh
negaranya dan berbeda wilayahnya.
10.
ORANG-ORANG YANG BERHAK MENERIMA WARISAN
Orang-orang yang berhak menerima warisan,
menurut mazhab Hanafi, tersusun sebagai berikut :
1
Ashhaabul Furuudh
2
'Ashabah Nasabiyah
3
'Ashabah Sababiyah
4 Rodd
kepada Ashhaabul Furuudh
5
Dzawul Arhaam
6
Maulal Muwaalah
7
Orang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
8
Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan
9
Baitul Maal
Adapun urutan orang-orang yang berhak
menerima warisan menurut kitab Undang- undang warisan yang berlaku di Mesir
adalah sebagai berikut:
1
Ashhaabul Furuudh
2
'Ashabah Nasabiyah
3 Rodd
kepada Ashhaabul Furuudh
4
Dzawul Arhaam
5 Rodd
kepada salah seorang suami-isteri
6
'Ashabah Sababiyah
7
Orang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
8
Orang yang menerima wasiat semua harta peninggalan
9
Baitul Maal
11.
ASHHAABUL FURUUDH
Ashhaabul Furuudh adalah mereka yang
mempunyai bagian dari keenam bagian yang ditentukan bagi mereka, yaitu: 1/2,
1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6.
Ashhaabul Furuudh ada dua belas orang:
empat laki-laki, yaitu ayah, kakek yang sah dan seterusnya ke atas, saudara
laki-laki seinu, dan suami. Dan delapan
perempuan, yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan sekandung,saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki,
ibu, dan nenek serta seterusnya sampai ke atas. Berikut ini akan dijelaskan
bagian dari masing-masing secara terperinci:
11.1.
AYAH
Berfirman Allah SWT:
"Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya
mendapat sepertiga".
Ayah itu mempunyai tiga ketentuan: mewarisi
dengan jalan fardh, mewarisi
dengan
jalan 'ashabah, dan mewarisi dengan jalan fardh dan 'ashabah secara ber barengan.
-
Dengan jalan Fardh:
Ayah mewarisi dengan jalan fardh apabila
dia bersama dengan keturunan (far'un) lelaki satu atau dengan yang lainnya
(perempuan). Dalam keadaan demikian, maka bagian ayah adalah seperenam.
-
Dengan jalan 'ashabah:
Ayah mewarisi dengan jalan 'ashobah, jika
mayit tidak mempunyai keturunan
(far'un)
yang mewarisi, baik laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian, maka ayah
mengambil semua peninggalan bila ia sendirian, atau sisa dari Ashhaabul Furuudh
bila dia bersama dengan salah seorang di antara mereka.
-
Dengan jalan fardh dan 'ashobah
Yang demikian terjadi bila dia bersama
dengan keturunan perempuan yang mewarisi. Dalam keadaan yang demikian, ayah
mengambil seperenam sebagai fardh, kemudian mengambil sisa dari Ashhaabul
Furuudh sebagai 'ashobah.
11.2.
KAKEK YANG SHAHIH
Kakek ada yang shahih dan ada yang fasid.
Kakek yang shahih ialah kakek yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh
perempuan, misalnya ayah dari ayah.
Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya
dengan si mayit diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ibu. Kakek yang
shahih mendapatkan waris menurut ijma'.
"Dari
'Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Rosululloh saw,
lalu katanya: Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku telah mati, berapakah
aku mendapatkan warisannya? Beliau menjawab: "Engkau mendapatkan
seperenam." Ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan
berkata:
"Engkau
mendapatkan seperenam." Dan ketika orang itu hendak pergi, maka Beliau memanggilnya
dan berkata: "Engkau mendapat seperenam lainnya." Ketika orang itu
hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata: "Sesungguhnya seperenam
yang lain itu adalah tambahan." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dan
dia menshahihkan
pula).
Hak waris kakek yang shahih itu gugur
dengan adanya ayah; dan bila ayah tidak ada, maka kakek shahih yang
menggantikannya, kecuali dalam empat masalah:
1 Ibu
dari ayah itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu gugur
dengan adanya ayah dan mewarisi bersama
kakek.
2
Apabila si mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri, maka
ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta
sesudah bagian salah seorang dari
suami-isteri. Adapun bila kakek menggantikan
ayah, maka ibu mendapatkan
sepertiga dari semua harta. Masalah ini dinamakan masalah
'Umariyah, karena
masalah ini
diputuskan oleh 'Umar. Masalah ini juga dinamakan gharraaiyyah
karena
terkenalnya bagai bintang pagi. Akan tetapi Ibnu 'Abbas menentang hal
itu, dan katanya:
"Sesungguhnya ibu mendapatkan sepertiga dari keseluruhan
harta ; karena
firman Allah : 'dan bagi ibunya itu sepertiga'".
3 Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara
laki-laki perempuan
sekandung, dan
saudara-saudara laki-laki serta saudara-saudara perempuan
sebapak. Adapun
kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya. Ini adalah mazhab
Asy-Syafi'i, Abu
Yusuf, Muhammad dan Malik. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek
menghalangi sebagaimana ayah menghalangi mereka, tidak ada perbedaan antara
kakek dan ayah. Undang-undang
Warisan Mesir telah mengambil pendapat yang pertama, dimana dalam pasal 22
terdapat ketentuan berikut:
"Apabila kakek berkumpul dengan
saudara-saudara lelaki dan saudara-saudara
perempuan seibu-sebapak, atau saudara-saudara
lelaki dan saudara-saudara
perempuan seayah, maka bagi kakek ini ada dua
ketentuan:
Pertama: Dia berbagi sama rata dengan
merekan, seperti seorang saudara laki-
laki jika mereka itu laki-laki saja,
atau laki-laki dan perempuan,
atau perempuan-perempuan yang
digolongkan (di'ashobahkan) dengan
keturunan perempuan.
Kedua
: Dia mengambil sisa setelah Ashhaabul Furuudh dengan cara ta'shib,
bila dia bersama dengan
saudara-saudara perempuan yang di'ashobahkan oleh saudara-saudara lelaki, atau
di'ashobahkan oleh keturunan
perempuan menurut furudh atau
pewarisan dengan jalan ta'shib menurut
ketentuan yang telah dikemukakan itu
manjauhkan kakek dari pewarisan
atau mengurangi bagiannya dari
seperenam, maka dia dianggap pemilik
dari bagian seperenam. Dan tidak dianggap dalam pembagian masalah
kakek ini, orang yang terhalang dari
saudara-saudara lelaki atau
saudara-saudara perempuan sebapak
(yang diprioritaskan dalam masalah ini
adalah hanya kakek saja, red).
11.4.
SAUDARA LAKI-LAKI/PEREMPUAN SEIBU (KALALAH)
Berfirman Allah SWT:
"Jika
seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah
dan tidak memeninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing- masing
dari kedua jenis saudara iru seperenam harta. Akan tetapi jika saudara- saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu" (Surat An-Nisaa ayat 12).
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai
ayah dan tidak mempunyai anak,
baik laki-laki maupun perempuan. Dan yang dimaksud
saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat ini ialah saudara-saudara
seibu. Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi mereka ada tiga ketentuan:
1 Bahwa seperenam itu untuk satu orang, baik laki-laki
maupun perempuan.
2 Bahwa sepertiga itu untuk dua orang atau lebih, baik
laki-laki atau perempuan.
3 Mereka tidak mewarisi sesuatu bersama-sama dengan
keturunan yang mewarisi, seperti anak laki-laki dan anak dari anak
laki-laki, dan tidak pula mewarisi
bersama dengan ashal (pokok yang menurunkan) yang laki-laki lagi
mewarisi, seperti ayah dan kakek. Maka mereka ini tidak terhalang dengan
adanya ibu atau nenek.
11.5.
SUAMI
Allah SWT berfirman :
"Dan
magimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan mereka"
(An-Nisaa
: 12)
Ayat ini menyebutkan bahwa bagi suami ada
dua ketentuan:
Ketentuan
pertama:
Dia mendapatkan warisan separuh, jika tidak
ada keturunan yang mewarisi,
yaitu
anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak perempuan, dan anak perempuan
dari
anak laki-laki sekalipun anak perempuan itu diturunkan oleh anak laki-laki,
baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang lain.
Ketentuan
Kedua :
Dia mendapatkan warisan seperempat jika ada
keturunan yang mewarisi. Adapun
keturunan
yang tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak perempuan, maka
dia
tidak mengurangi bagian suami atau isteri.
11.6.
ISTERI
Allah SWT berfirman :
"Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan" (An-Nisaa' : 12).
Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi
isteri itu ada dua ketentuan :
Ketentuan
Pertama:
Hak memperoleh bagian seperempat bagi
isteri terjadi bila tidak ada
keturunan
yang mewarisi, baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang
lain.
Ketentuan
Kedua :
Hak memperoleh bagian seperdelapan terjadi
bila ada keturunan yang mewarisi.
Apabila isteri itu berbilang, maka bagi mereka berbagi
rata dari seperempat atau
seperdelapan bagian.
ISTERI YANG DICERAI
Isteri yang
ditalak (diceraikan) dengan talak raj'ie itu mewarisi dari
suaminya apabila suami mati sebelum habis masa iddahnya.
Orang-orang Hambali
berpendapat bahwa isteri yang ditalak sebelum dicampuri
oleh suami yang
mentalaknya di waktu sakit yang menyebabkan kematian,
kalau suami mati karena
sakit,
sedang isteri belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan.
Demikian
pula bila isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang
mentalaknya,
selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa 'iddah karena
kematian
suami.
Undang-undang yang baru menganggap bahwa
isteri yang ditalak bain dalam
keadaan
suami sakit yang menyebabkan kematian, maka dia dihukum sebagai isteri,
jika
dia tidak rela ditalak dan suami yang mentalak mati karena penyakit, sedang
dia
masih berada dalam masa 'iddahnya.
11.7.
ANAK PEREMPUAN YANG SHULBIYAH
Allah SWT berfirman :
"Allah
mensyari'atkan bagimu tentang pembagian harta pusaka untuk anak-anakmu.
Yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan; dan
jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka duapertiga
dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia
memperoleh
seperdua harta" (An-Nisaa' 12).
Ayat di atas menunjukkan bahwa anak
perempuan yang shulbiyah mempunyai tiga
ketentuan:
Ketentuan
Pertama:
Dia mendapatkan bagian seperdua, apabila
anak perempuan itu hanya seorang
diri.
Ketentuan
Kedua :
Bagian duapertiga untuk dua orang anak
perempuan atau lebih, bila tidak ada
seorang
anak laki-laki atau lebih. Berkata Ibnu Qudamah: Ahli ilmu telah sepakat
bahwa
fardh (bagian) dari dua orang anak perempuan adalah duapertiga, kecuali
satu riwayat syadz dari Ibnu 'Abbas. Berkata Ibnu Rusyd: Telah dikatakan
bahwa
pendapat yang masyhur dari Ibnu 'Abbas itu seperti
pendapat jumhur.
Ketentuan
Ketiga :
Mewaris secata ta'shib. Bila dia disertai
oleh seorang anak laki-laki atau
lebih
banyak, maka cara memperoleh warisannya dengan jalan ta'shib; di dalam
ta'shib
bagian seorang laki-laki dua kali bagian seorang perempuan. Denikian
pula
bila yang laki-laki dan perempuan itu kedua-duannya banyak.
11.8.
HAL-IHWAL SAUDARA PEREMPUAN SEKANDUNG
Allah SWT berfirman:
"Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan dia
tidak
mempunyai anak dan mepunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara yang laki-
laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai
anak;
akan tetapi jika saudara perempuan itu dua orang; maka bagi keduanya dua
pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang
saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan" (An-Nisa 176).
Rosululloh
saw bersabda :
"Jadikanlah
saudara-saudara perempuan dan anak-anak perempuan itu satu 'ashobah"
Bagi saudara perempuan sekandung ada lima ketentuan :
1
Separuh bagi seorang saudara perempuan sekandung bila dia tidak disertai anak
laki-laki, anak laki-laki dari anak
laki-laki, ayah, kakek, dan saudara laki-
laki sekandung.
2 Dua
pertiga bagi dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih bila tidak
ada laki-laki.
3
Apabila saudara-saudara perempuan itu hanya disertai oleh saudara laki-laki
sekandung dan orang-orang yang telah
dikemukakan di atas tidak ada, maka
saudara-saudara perempuan sekandung itu
di'ashobahkan; sehingga bagian dari
seorang laki-laki adalah dua kali bagian
seorang perempuan.
4
Saudara-saudara perempuan sekandung menjadi 'ashobah bersama dengan anak-anak
perempuan atau anak-anak perempuan dari
anak-anak laki-laki, sehingga mereka
mengambil sisa harta sesudah bagian anak-anak
perempuan atau anak-anak
perempuan dari anak-anak laki-laki.
5
Saudara-saudara perempuan sekandung itu gugur dengan adanya keturunan laki-
laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki,
dan anak laki-laki dari anak laki-
laki, serta pokok (yang menurunkan) laki-laki
yang mewarisi, seperti ayah -
menurut kesepakatan - da kakek - menurut Abu
Hanifah -. Pendapat Abu Hanifah
ini berbeda dengan pendapat Abu Yusuf dan
Muhammad; dan perbedaan itu telah
dikemukakan pada pembicarann yang lalu.
11.9. SAUDARA-SAUDARA PEREMPUAN SEAYAH
Bagi
Rosululloh-Rosululloh perempuan seayah ada enam ketentuan :
1 Separuh, bila dia sendirian, tidak ada saudara
perempuan seayah lainnya, tidak
ada saudara
perempuan yang sekandung.
2 Dua
pertiga, untuk dua orang saudara perempuan seayah ataii lebih.
3
Seperenam, bila dia hanya bersama dengan saudara perempuan yang sekandung,
sebagai penyempurnaan dua pertiga.
4
Mewarisi secara ta'shib bersama orang lain, bila bersamanya (seorang atau
lebih) terdapat seorang anak perempuan atau
anak perempuan dari anak laki-
laki. Nereka mendapatkan sisa sesudah bagian
anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki.
5
Mereka gugur dengan adanya orang-orang berikut :
a. Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi.
b. Saudara laki-laki sekandung.
c. Saudara perempuan sekandung, bila menjadi
'ashobah oleh sebab anak
perempuan atau anak perempuan dari anak
laki-laki, sebab saudara perempuan
sekandung dalam hal itu menduduki tempat
saudara laki-laki sekandung. Oleh
sebab itu maka dia didahulukan atas
saudara laki-laki seayah dan saudara
perempuan seayah, ketika dia menjadi
'ashobah oleh sebab orang lain.
d. Dua orang saudara perempuan sekandung,
kecuali bila bersama mereka terdapat
saudara lelaki seayah, maka mereka
di'ashobahkan, sehingga sisanya dibagi:
untuk laki-laki adalah duan bagian seorang
perempuan.
Apabila mayit meninggalkan dua orang
saudara perempuan sekandung, saudara-
saudara
perempuan seauayh dan seorang saudara laki-laki seayah, maka dua orang
saudara
perempuan sekandung itu mendapat duapertiga, dan sisanya dibagi antara
saudara-saudara
perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan pembagian:
bagian
laki-laki dua kali bagian perempuan.
11.10.
ANAK-ANAK PEREMPUAN DARI ANAK LAKI-LAKI
Bagi anak-anak perempuan dari anak
laki-laki ada lima
ketentuan:
1
Separuh, bila anak perempuan dari anak laki-laki itu sendiri saja dan tidak
ada anak laki-laki shulbi.
2
Duaperiga bagi dua orang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki, bila
tidak ada anak laki-laki shulbi.
3
Seperenam bagi seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki bila ber-
samanya terdapat anak perempuan shulbiyah
sebagai penyempurnaan duapertiga;
kecuali bila bersama mereka terdapat seorang
anak laki-laki yang sederajat
dengan mereka (cucu laki-laki), maka mereka
di'ashobahkan; dan sisanya sesudah
bagian anak perempuan shulbiyah, dibagikan:
untuk lelaki dua bagian perempuan.
4
Mereka tidak mewarisi bila ada anak laki-laki.
5
Mereka tidak mewarisi bila ada dua orang anak perempuan sulbiyah atau lebih,
kecuali bila bersama didapatkan seorang anak
laki-laki dari anak laki-laki
yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki)
atau lebih rendah dari mereka,
maka mereka di'ashobahkan.
11.11.
IBU
Allah SWT berfirman :
"Dan
untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan,
jika yang meninggal mempunyai anak, jika yang meninggalkan itu
tidak
mempunyai anak, dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya
mendapapatkan
sepertiga. (An-Nisaa' ayat 10).
Bagi ibu itu ada tiga ketentuan :
1
Mendapatkan seperenam, bila dia bersama dengan anak laki-laki atau seorang
anak laki-laki dari anak laki-laki, atau dua
orang saudara laki-laki atau
saudara perempuan secara muthlak, baik mereka
itu dari fihak ayah dan ibu,
fihak ayah saja ataupun fihak ibu saja.
2
Mendapat sepertiga dari semua harta peninggalan, bila tidak didapatkan
seorangpun dari yang telah dikemukakan (dalam
no. 1).
3
Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang
suami-isteri. Yang demikian itu
terdapat dalam dua masalah yang dinamakan
gharraiyyah, yaitu :
Pertama: Bila si mayit meninggalkan suami dan
dua orang tua.
Kedua
: Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua.
11.12.
NENEK
Allah SWT berfirman:
"Dari
Qubaishah bin Dzuaib, dia berkata: Seorang nenek telah datang menghadap
Abu
Bakr, lalu dia menanyakan tentang warisannya. Abu Bakr menjawab: "Engkau
tidak
mempunyai hak sedikitpun menurut Kitab Allah dan aku tidak tahu sedikitpun
berapa
hakmu di dalam sunnah Rosululloh saw. Maka pulanglah engkau sampai aku
menanyakan
kepada seseorang". Kemudian Abu Bakr menanyakan kepada para shahabat.
Al-Mughiroh bin Syu'bah menjawab: "Aku
pernah menyaksikan Rosululloh saw mem-
berikan
kepada nenek seperenam fardh". Abu Bakr bertanya: "Apakah ada orang
lain
bersamamu?"
Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-Anshori, mengatakan seperti
apa
yang dikatakan Al-Mughiroh bin Syu'bah. Maka Abu Bakrpun memberikan
seperenam
fardh kepada si nenek. Berkata Qubaishah: Kemudian datanglah seorang
nenek
yang lain kepada 'Umar, menanyakan warisannya. 'Umar menjawab: "Engkau
tidak
mempunyai hak sedikitpun menurut kitab Allah, akan tetapi seperenam
itulah.
Oleh sebab itu, jika kamu berdua, maka seperenam itupun untuk kamu
berdua.
Siapa saja diantara kamu berdua yang sendirian, maka seperenam itu
untuknya".
(HR lima orang
ahli hadits kecuali An-Nasai, dishahihkan At-Tirmidzi)
Bagi nenek yang shahihah (=nenek yang
nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi
oleh kakek yang fasid. Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya
dengan
si mayit diselingi oleh perempuan , seperti ayah dari ibu) ada tiga
ketentuan
:
1
Seperenam bila dia sendirian, dan bila lebih dari satu, maka berserikat di
dalam seperenam itu, dengan syarat sama
derajatnya seperti ibu dari ibu dan
ibu dari ayah.
2
Nenek yang dekat dari jihat manapun menghalangi nenek yang jauh, seperti ibu
dari ibu (nenek) menghalangi ibu dari ibu dari ibu
(buyut) dan menghalangi
juga ibu dari
ayah dari ayah.
3 Nenek dari jihat manapun gugur dengan adanya ibu; dan
nenek dari jihat ayah
gugur dengan
adanya ayah, akan tetapi adanya ayah tidak menggugurkan nenek
dari fihak ibu.
Kakek menghalangi ibunya (buyut) sebab ibu kakek gugur haknya
karena adanya
kakek.
12. 'ASHOBAH
12.1. DEFINISI
'Ashobah adalah
jamak dari 'aashib, seperti halnya tholabah adalah jamak
dari thoolib. 'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat
seorang lelaki dari
fihak
ayah. Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara sebagian
mereka
dengan sebagian yang lain.
Kata 'ashobah ini diambil dari
ucapan mereka: "Ashobal qoumu bi fulaan",
bila mereka bersekutu dengan si fulan. Maka anak
laki-laki adalah satu fihak
dari 'ashobah, dan ayah adalah fihak lain; saudara
laki-laki adalah satu segi
dari 'ashobah sedangkan paman (dari fihak ayah) adalah
sisi yang lain.
Yang dimaksud dengan 'ashobah disini
ialah mereka yang mendapatkan sisa
sesudah
Ashhaabul Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka.
Apabila
tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka
('ashobah)
tidak mendapatkan apa-apa, kecuali bila 'ashib itu seorang anak laki-
laki
maka dia tidak akan mendapatkan bagian, bagaimanapun keadaannya.
Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak
atas semua peninggalan bila tidak
didapatkan
seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits yang diriwayat-
kan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu
'Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:
"Berikanlah
bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang
berhak
menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada 'ashobah laki-
laki
yang terdekat kepada si mayit".
Dari
Abu Hurairoh ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak ada bagi seorang mukmin
kecuali
aku lebih berhak atasnya dalam urusan dunia dan akhiratnya. Bacalah bila
kamu
suka: "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka
sendiri."
Oleh sebab itu, siapa saja orang mukmin yang mati dan meninggalkan
harta,
maka harta itu diwariskan kepada 'ashobahnya, siapapun mereka itu adanya.
Dan
barang siapa ditinggali hutang atau beban keluarga oleh si mayit, maka
hendaklah
dia datang kepadaku, karena akulah maulanya."
12.2.
PEMBAGIAN 'ASHOBAH
'Ashobah
itu dibagi menjadi dua bagian :
1
'Ashobah Nasabiyah,
2
'Ashobah Sababiyah.
12.3.
'ASHOBAH NASABIYAH
'Ashobah
Nasabiyah ada tiga golongan :
1
'Ashobah binafsih
2
'Ashobah bighoirih
3
'Ashobah ma'aghoirih.
12.4.
'ASHOBAH BINAFSIH
'Ashobah binafsih ialah semua orang
laki-laki yang nasabnya dengan si mayit
tidak
diselingi oleh perempuan. 'Ashobah binafsih ada empat golongan:
1
Bunuwwah (keanakan), dianamakan juz-ul mayyit.
2
Ubuwwah (keayahan), dinamakan ashlul mayyit.
3
Ukhuwwah (kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih.
4
Umumah (kepamanan), dinamakan juz-ul jadd.
12.5.
'ASHOBAH BIGHOIRIH
'Ashobah bighoirih adalah perempuan yang
bagiannya separuh dalam keadaan
sendirian,
dan duapertiga bila bersama dengan saudara perempuannya atau lebih.
Apabila
bersama perempuan atau perempuan-perempuan itu terdapat seorang saudara
laki-laki,
maka di saat itu mereka semuanya menjadi 'Ashobah dengan adanya
saudara
laki-laki tersebut. Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bighoirih
ada
empat :
1
Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan,
2
Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki,
3
Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung,
4
Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah.
Setiap golongan dari keempat golongan ini
menjadi 'Ashobah bersama orang
lain, yaitu saudara laki-laki. Pewarisan diantara mereka adalah
laki-laki
mendapat
dua bagian perempuan.
Perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan
bagian (fardh) bila tidak ada
saudara
laki-lakinya yang 'ashib (menjadi 'ashobah) itu tidak menjadi 'ashobah
bighoirih
di saat adanya saudara laki-laki. Sebab seandainya seseorang itu mati
sedang
dia meninggalkan seorang paman atau bibi (dari fihak ayah), maka semua
hartanya
itu untuk paman, sedang bibi tidak mendapatkan dan tidak menjadi
'ashobah
bersama saudara laki-lakinya; sebab bibi itu tidak mendapatkan bagian
bila
tidak bersama saudara laki-lakinya. Demikian pula anak laki-laki dari
saudara
laki-laki bersama anak perempuan dari saudara lelaki.
12.6.
'ASHOBAH MA'AGHOIRIH
'Ashobah ma'aghoirih ialah setiap perempuan
yang memerlukan perempuan lain
untuk
menjadi 'Ashobah. 'Ashobah ma'aghoirih ini terbatas hanya pada dua
golongan
dari perempuan, yaitu :
1
Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung bersama
dengan anak perempuan atau anak perempuan
dari anak laki-laki.
2
Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan
anak perempuan atau anak perempuan dari anak
laki-laki; mereka mendapatkan
sisa peninggalan sesudah furudh.
12.7.
CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
Pada fasal terdahulu telah dikemukakan cara
pewarisan untuk 'ashobah bi-
ghoirih
dan 'ashobah ma'aghoirih. Adapun cara pewarisan 'ashobah binafsih, maka
akan
kami jelaskan sebagai berikut :
'Ashobah binafsih ada empat golongan, dan
mewarisi menurut tertib berikut:
1
Bunuwwah
meliputi anak-anak laki-laki dan anak
laki-laki dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah.
2 Bila
jihat bunuwwah tidak didapatkan, maka peninggalan atau sisanya itu ber-
pindah ke jihat ubuwwah yang meliputi ayah
dan kakek shahih seterusnya keatas.
3 Bila
tidak ada seorangpun dari jihat ubuwwah, maka peninggalan atau sisanya
berpindah ke ukhuwwah. Ukhuwwah ini meliputu
saudara-saudara laki-laki
sekandung, saudara-saudara laki-laki seayah,
anak laki-laki dari saudara
laki-laki sekandung, anak-anak laki-laki dari
saudara laki-laki seayah, dan
seterusnya ke bawah.
Note: Sekandung = seibu-seayah.
4 Bila
tidak ada seorang pun dari jihat ukhuwwah, maka peninggalan atau sisanya
berpindah ke jihat 'umumah tanpa ada
perbedaan antara 'umumah si mayit itu
sendiri dengan 'umumah ayahnya atau 'umumah
kakeknya; hanya saja 'umumah si
mayit didahulukan atas 'umumah ayahnya, dan
'umumah ayahnya didahulukan atas
'umumah kakeknya, dan begitu seterusnya.
Bila didapatkan sejumlah orang dari satu
tingkatan, maka yang paling berhak
untuk
mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat kepada si mayit.
Bila terdapat sejumlah orang yang sama
hubungan nasabnya dengan si mayit
dari
segi jihat dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan warisan adalah
mereka
yang paling kuat hubungan kekerabatannya dengan si mayit.
Apabila mayit meninggalkan sejumlah orang
yang sama nasab mereka kepada
dirinya
dari segi jihat, derajat dan kekuatan, hubungan, maka mereka sama-sama
berhak
untuk mendapatkan warisan sesuai dengan kepala mereka.
Inilah makna dari ucapan fuqoha:
"Sesungguhnya pendahuluan di dalam 'ashobah
binafsih
adalah dengan jihat. Bila jihatnya sama, maka dengan derajat. Bila
derajatnya
sama, maka dengan kekuatan hubungan. Bila mereka sama dalam jihat,
derajat
dan kekuatan hubungan, maka mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan
warisan
dan peninggalan itu dibagi rata diantara mereka menurut jumlah mereka.
12.8.
'ASHOBAH SABABIYAH
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang
memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan
tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.
13.
HAJBU DAN HIRMAN
13.1.
DEFINISI
Hajbu menurut bahasa berarti man'u:
menghalangi, mencegah. Maksudnya adalah
terhalangnya
seseorang tertentu dari semua atau sebagian warisannya karena
adanya
orang lain.
Hirman ialah terhalangnya seseorang
tertentu dari warisannya karena terjadi
penghalang
pewarisan, seperti membunuh dan lain-lainnya.
13.2.
PEMBAGIAN HAJBU
Hajbu
ada dua macam :
1
Hajbu Nuqshoon,
2
Hajbu Hirman
Hajbu Nuqshon ialah berkurangnya warisan
salah seorang ahli waris karena
adanya orang lain. Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima
orang :
1 Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat di
waktu ada anak laki-laki.
2 Isteri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan
di waktu ada anak lelaki
3 Ibu terhalang dari sepertig menjadi seperenam di waktu
ada keturunan yang
mewarisi.
4 Anak perempuan dari anak laki-laki.
5 Saudara perempuan seayah.
Adapun Hajbu
Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi seseorang karena
adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi
saudara laki-laki di waktu
adanya anak laki-laki. Hajbu Hirman ini tidak termasuk ke
dalam warisan dari
enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa terhalang oleh
Hajbu nuqshon.
Mereka itu adalah :
1 & 2 Kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu,
3 & 4 Kedua orang tua, yaitu anak laki-laki dan anak
perempuan ,
5
& 6 Dua orang suami-isteri.
Hajbu Hirman itu masuk ke dalam ahli waris
selain dari keenam ahli waris
tersebut
di atas.
Hajbu Hirman ditegakkan atas dia asa:
1
Bahwa setiap orang mempunyai hubungan dengan si mayit karena adanya orang lain
itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut
itu ada. Misalnya anak laki-laki
dari anak laki-laki itu tidak mewarisi
bersama dengan adanya anak laki-laki,
kecuali anak-anak laki-laki dari ibu, maka
mereka itu mewarisi bersama mereka
ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan
si mayit karena dia.
2
Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak
laki-laki menghalangi anak laki-laki dari
saudara laki-laki. Apabila mereka
sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi)
dengan kekuatan hubungan keke-
rabatannya, sperti saudara laki-laki
sekandung menghalangi saudara laki-laki
seayah.
13.3.
PERBEDAAN ANTARA MAHRUM DAN MAHJUUB
Perbedaan antara mahrum dan mahjub itu
kelihatan jelas dalam dua hal berikut
1
Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh
(orang yang mewariskan). Sedang mahjub itu
berhak mendapatkan warisan, akan
tetapi dia terhalang karena adanya orang lain
yang lebih utama darinya untuk
mendapatkan warisan.
2
Orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia
tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia
dianggap seperti tidak ada saja.
Misalnya bila seseorang mati dan meninggalkan
seorang anak laki-laki kafir
dan seorang saudara laki-laki muslim; maka
warisan itu semua adalah bagi
saudara laki-laki, sedang anak laki-laki
tidak mendapatkan apa-apa.
Adapun orang yang mahjub (terhalang), maka
terkadang dia mempengaruhi orang
lain, dia menghijabnya baik dengan Hajbu
hirman ataupun hajbu Nuqshon.
Misalnya, dua tahu lebih saudara-saudara
laki-laki bersama dengan adanya ayah
dan ibu. Keduanya (saudara laki-laki) tidak
mewarisi karena adanya ayah; dan
keduanya (ayah dan saudara laki-laki)
menghijab ibu dari menerima sepertiga
menjadi seperenam.
14.
'AUL
14.1.
DEFINISI
'Aul menurut bahasa berarti irtifa':
mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan
bila
timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung
kepada
perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:
"Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (ta'uuluu)"
(S.
An-Nisaa' ayat 3).
Menurut para fuqoha, 'aul ialah
bertambahnya saham dzawul furudh dan
berkurangnya
kadar penerimaan warisan mereka.
Diriwayatkan bahwa faridhah (pembagian)
harta pertama yang mengalami 'aul
di
dalam Islam itu diajukan kepada 'Umar ra. Maka dia memutuskan dengan 'aul
pada suami dan dua orang saudara perempuan. Dia berkata
kepada para sahabat yang
ada di sisinya:
"Jika aku mulai memberikan kepada suami atau dua
orang saudara perempuan, maka
tidak ada hak yang sempurna bagi yang lain. Maka berilah
aku pertimbangan. Maka
'Abbas bin 'Abdul Mutholib pun memberikan ertimbangan
kepadanya dengan 'aul.
Dikatakan
pula bahwa yang memberikan pertimbangan itu ialah 'Ali. Sementara yang
mengatakan
bahwa yang memberikan pertimbangan ialah Zaid bin Tsabit.
14.2.
CONTOH-CONTOH MASALAH 'AUL
1
Telah mati seorang perempuan dengan meninggalkan seorang suami, dua orang
saudara
perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu dan ibu. Masalah
demikian
dianamakan masalah Syuraihiyyah, sebab si suami itu mencaci-maki
Syuraih,
hakim yang terkenal itu, dimana si suami diberi bagian tiga persepuluh
oleh
Syuraih. Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil mengatakan: "Syuraih
tidak
memberikan kepadaku separuh dan tidak pula sepertiga." Ketika Syuraih
mengetahui
hal itu, dia memanggilnya untuk menghadap, dan memberikan hukuman
ta'zir
kepadanya. Kata Syuraih: "Engkau buruk bicara, dan menyembunyikan
'aul."
2
Seorang suami talah mati, sedang dia meninggalkan seorang isteri, dua orang
anak
perempuan, seorang ayah, dan seorang Ibu. Masalah ini dinamakan masalah
mimbariyyah,
sebab Sayyidina 'Ali ra tengah berada di atas mimbar di Kufah, dan
dia
mengatakan di dalam khutbahnya: "Segala puji bagi Allah yang telah
memutus-
kan dengan kebenaran secara pasti, dan
membalas setiap orang dengan apa yang dia
usahakan,
dan kepada-Nya tempat berpulang dan kembali," lalu beliau ditanya
tentang
masalah itu, maka beliau menjawab di tengah-tengah khutbahnya: "Dan
isteri
itu, seperdelapan menjadi sepersembilan," kemudian beliau melanjutkan
khutbahnya.
Masalah-masalah yang dimasuki oleh Allah
itu ialah masalah-masalah yang
pokok
(ashal)-nya : 6 - 12 - 24.
Enam
terkadang ddibesarkan menjadi tujuh, atau delapan, atau sembilan, atau
sepuluh.
Dan duabelas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau tujuh
belas.
Dan dua puluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua puluh tujuh.
Masalah-masalah yang tidak dimasuki Allah
sama sekali ialah masalah-masalah
yang
pokok (ashal)-nya: 2, 3, 4, 8.
Undang-undang Warisan Mesir menetapkan
Allah pada fasal lima
belas, dan
nashnya
sebagai berikut: "Apabila bagian-bagian ashhaabul furuudh melebihi harta
peninggalan,
maka harta peninggalan itu dibagi di antara mereka menurut
perbandingan
bagian-bagian mereka di dalam pewarisan."
14.3.
CARA PEMECAHAN MASALAH-MASALAH 'AUL
Cara pemecahan masalah-masalah Allah ialah
harus mengetahui pokok masalah,
yakni
yang menimbulkan masalah itu, dan mengetahui saham-saham setiap ashhaabul
furuudh
serta mengabaikan pokonya. Kemudian bagian-bagian mereka dikumpulkan,
dan
kumpulan itu dijadikan sebagai pokok. Lalu peninggalan dibagi atas dasar
itu.
Dan dengan demikian, maka akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuai
dengan
sahamnya. Di dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.
Misalnya,
bagi suami dan dua orang saudara perempuan sekandung, maka pokok
masalahnya
adalah enam, untuk suami separuh, yaitu tiga, dan untuk dua orang
saudara
perempuan sekandung duapertiga, yaitu empat. Maka jumlahnya menjadi
tujuh.
Dan tujuh itulah yang menjadi dasar pembagian harta peninggalan.
15.
RODD
15.1.
DEFINISI
Kata radd berarti i'aadah: mengembalikan.
Dikatakan rodda 'alaihi haqqoh
artinya
a'aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepadanya. Dan kata radd juga
berarti
sharf: memulangkan kembali. Dikatakan rodda 'anhu kaida 'aduwwih: dia
memulangkan
kembali tipu muslihat musuhnya.
Yang dimaksud radd menurut para fuqoha
ialah pengembalian apa yang tersisa
dari
bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya
bagian
mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya.
15.2.
RUKUNNYA
Radd tidak akan terjadi kecuali bila ada
tiga rukun:
1
Adanya ashhaabul furuudh,
2
Adanya sisa peninggalan,
3
Tidak adanya ahli waris 'ashobah.
15.3.
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG RADD
Tidak ada nash yang menjadi rujukan masalah
radd; oleh sebab itu para ulama
berselisih
pendapat tentang radd ini.
Di antara mereka ada yang berpendapat
tentang tidak adanya radd terhadap
seorang
pun di antara ashhaabul furuudh; dan sisa harta sesudah ashhaabul
furuudh
mengambil furudh (bagian-bagian) mereka itu diserahkan kepada baitulmal
bila
tidak ada ahli waris 'ashobah.
Ada
pula yang berpendapat tentang adanya radd bagi ashhaabul furuudh, bahkan
sampai
pada suami-isteri menurut kadar bagian masing-masing.
Sedang pendapat lain adalah radd itu
diberikan kepada semua ashhaabul
furuudh,
kecuali suami-isteri, ayah dan kakek.
Maka
radd diberikan kepada delapan golongan sebagai berikut:
1 Anak
perempuan
2 Anak
perempuan dari anak laki-laki
3
Saudara perempuan sekandung
4
Saudara perempuan seayah
5 Ibu
6 Nenek
7 Saudara laki-laki seibu
8 Saudara perempuan seibu.
Pendapat inilah
pendapat yang terpilih. Ini adalah pendapat 'Umar, 'Ali,
jumhur sahabat dan tabi'in. Dan inilah mazhab Abu Hanifah,
Ahmad, dan pendapat
yang dipegang bagi aliran Syafi'i, serta sebagian
pengikut Malik, ketika baitul-
mal
rusak.
Mereka berkata: Radd itu tidak diberikan
kepada suami-isteri karena radd
dimiliki
dengan jalan rahim, sedang suami-isteri tidak mempunyai hubungan rahim
kecuali
hanya sebab perkawinan. Radd juga tidak diberikan kepada ayah dan kakek
karena
radd itu ada bila tidak ada ahli waris 'ashobah, sedang ayah dan kakek
termasuk
ahli waris 'ashobah yang mengambil sisa dengan jalan ta'shib dan bukan
dengan
cara radd.
Undang-undang Waris Mesir mengambil
pendapat ini, kecuali dalam satu
masalah,
maka ia mengambil pendapat 'Utsman. Undang-undang itu menetapkan adanya
radd
bagi salah seorang suami-isteri, maka suami/isteri yang hidup mengambil
bagian
dengan cara fardh dan radd. Radd terhadap seorang dari suami-isteri di
dalam
undang-undang itu sesudah dzawul arham. Dalam fasal 30 terdapat ketentuan
sebagai
berikut: "Apabila furudh tidak dapat menghabiskan harta peninggalan
dan
tidak terdapat 'ashobah nasab, maka sisanya dikembalikan kepada selain
suami-isteri
dari golongan ashhaabul furuudh, menurut perbandingan furudh
mereka.
Dan sisa dari harta peninggalan sikembalikan kepada salah seorang suami-
isteri,
bila tidak didapatkan 'ashobah nasab atau salah seorang ashhaabul
furuudh
nasabiyah atau seorang dzawul arhaam."
15.4.
CARA MEMECAHKAN MASALAH-MASALAH RADD
Caranya ialah bila bersama ashhaabul
furuudh didapatkan orang yang tidak
mendapatkan
radd berupa salah seorang suami-isteri, maka salah seorang suami-
isteri
mengambil fardhnya dari pokok harta peninggalan. Dan sisa sesudah fardh
ini
adalah untuk ashhaabul furuudh sesuai dengan jumlah mereka bila mereka
terdiri
dari satu golongan, baik yang ada itu hanya salah seorang diantara
mereka
seperti anak perempuan. Apabila ashhaabul furuudh itu lebih banyak dari
satu
golongan, seperti seorang ibu dan seorang anak perempuan, maka sisanya
dibagikan
kepada mereka sesuai dengan fardh mereka dan dikembalikan kepada
mereka
sesuai dengan perbandingan fardh mereka pula.
Adapun bila bersama ashhaabul furuudh tidak
didapatkan salah seorang suami-
isteri,
maka sisa harta peninggalan sesudah fardh mereka dikembalikan kepada
mereka
sesuai dengan jumlah mereka, bila mereka itu terdiri dari satu golongan,
baik
yang ada di antara golongan itu hanya seorang ataupun banyak.
Apabila
ashhaabul furuudh itu lebih dari satu golongan, maka sisanya dikembali-
kan kepada mereka sesuai dengan
perbandingan fardh mereka. Dengan demikian maka
bagian
dari setiap ashhaabul furuudh itu bertambah sesuai dengan melimpahnya
harta;
sehingga dia mendapatkan sejumlah warisan yang berupa fardh dan radd.
16.
KANDUNGAN (HAMLU)
Kandungan (hamlu) adalah anak yang
dikandung di perut ibu. Kami akan mem-
bicarakan
kandungan di sini dari segi pewarisan dan lamanya kandungan.
16.1.
HUKUMNYA DALAM PEWARISAN
Kandungan itu adakalanya lahir dari perut
ibu dan adakalanya tetap di dalam
perutnya.
Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai hukum-hukumnya sendiri,
dan
akan kami sebutkan berikut ini :
16.2. KANDUNGAN YANG LAHIR DARI PERUT IBU
Apabila
kandungan lahir dari perut ibu, maka adakalanya ia lahir dalam
keadaan
hidup dan adakalanya dalam keadaan mati. Apabila ia lahir dalam keadaan
mati,
maka kemungkinan lahirnya bukan karena tindak pidana dan permusuhan ter-
hadap
sang ibu, dan kemungkinan disebabkan tindak pidana terhadap sang ibu.
Apabila
dia lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dan diwarisi oleh
orang
lain; karena adanya riwayat dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda:
"Apabila
anak yang dilahirkan itu menangis, maka dia diberi warisan".
Istihlaal artinya jeritan tangisan bayi;
maksudnya ialah bila nyata
kehidupan
anaka yang lahir itu, maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah
suara,
nafas, bersin, atau yang serupa dengan itu. Ini adalah
pendapat
Ats-Tsauri, Al-Auza'i, Asy-Syafi'i dan sahabat-sahabat
Abu Hanifah.
Apabila
kandungan lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana yang
dilakukan
terhadap ibunya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi dan tidak
pula
diwarisi.
Apabila dia lahir dalam keadaan mati
disebabkan tindak pidana yang dilaku-
kan terhadap ibunya, maka dalam keadaan
demikian, dia mewarisi dan diwarisi
menurut
orang-orang Hanafi.
Sedang mazhab Syafi'i, Hambali, dan Malik
berpendapat bahwa dia tidak
mewarisi
sedikitpun, akan tetapi dia mendapatkan ganti rugi saja karena darurat.
Dia
tidak mendapatkan selain itu. Ganti rugi ini diwarisi oleh setiap orang yang
berhak mendapat warisan darinya.
Al-Laits bin
Sa'd dan Robi'ah bin 'Abdurrahman berpendapat bahwa janin itu
bila lahir dalam keadaan mati disebabkan tindak pidana
terhadap ibunya, maka dia
tidak mewarisi dan tidak pula diwarisi; akn tetapi
iibunya mendapat ganti rugi.
Ganti rugi itu diberikan kepada ibunya, karena tindak
pidana itu menimpa
sebagian dari dirinya, yaitu si janin. Dan bila tindak pidana itu hanya
menimpa
diri si ibu saja, maka ganti ruginya pun hanya untuk
dirinya. Undang-undang
Warisan
Mesir mengambil pendapat ini.
16.3.
KANDUNGAN YANG BERADA DALAM PERUT IBU
1 Kandungan yang masih berada dalam perut
ibu tidak bisa menahan sebagian
harta
peninggalan, bila dia bukan pewaris atau terhalang oleh orang lain dalam
segala
keadaan. Apabila seseorang mati dan meninggalkan seorang isteri, seorang
ayah
dan seorang ibu yang hamil yang bukan dari ayahnya, maka kandungan yang
demikian
tidak mendapatkan warisan; sebab dia tidak akan keluar dari keadaannya
sebagai
saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, sedang saudara laki-laki
atau
saudara perempuan seibu tidak mewarisi dengan adanya ayah.
2 Semua harta peninggalan ditahan sampai
kandungan dilahirkan, bila dia
pewaris
dan tidak ada seorang pewarispun yang ada bersamanya, atau ada seorang
pewaris
tetapi terhalang olehnya. Demikian kesepakatan para fuqoha.
Demikian
pula semua harta peninggalan ditahan bila bersamanya terdapat ahli
waris
yang tidak terhalang, akan tetapi mereka semua merelakan baik secara
terang-terangan
maupun tersembunyi, untuk tidak membagi warisan secara segera,
misalnya
mereka diam saja atau tidak menuntutnya.
3 Setiap ahli warisyang mempunyai fardh
(bagian) tidak berubah dengan
berubahnya
kandungan, maka dia mendapatkan bagiannya secara sempurna, dan sisa-
nya
ditahan.
Misalnya,
bila si mayit meninggalkan seorang nenenk dan seorang isteri yang
hamil,
maka nenek mendapatkan bagian seperenam karena bagiannya tidak berubah,
baik
anak yang akan dilahirkan itu laki-laki ataupun perempuan.
4 Pewaris yang gugur dengan salah satu dari
dua keadaan kandungan dan tidak
gugur
dengan keadaan lain, tidak diberi bagian sedikitpun karena hak kewarisan-
nya
itu meragukan.
Misalnya,
bila mayit meninggalkan seorang isteri yang hamil dan seorang saudara
laki-laki,
maka saudara laki-laki itu tidak mendapatkan sesuatu, sebab mungkin
kandungan
yang akan lahir itu laki-laki. Demikian mazhab jumhur.
5 Ashabul furudh yang berubah bagiannya
karena kandungan yang akan dilahir-
kan itu laki-laki atau perempuan, diberi bagian yang
minimal dari dua
kemungkinan
tersebut, dan yang di dalam kandungan diberi bagian yang maksimal
dari
kedua kemungkinan di atas kemudian ditahan sampai ia lahir. Bila kandungan
yang
dilahirkan itu hidup, dan ternyata ia berhak memperoleh bagian yang lebih
besar,
maka tinggal mengambilnya. Dan bila dia tidak merhak memperoleh bagian
yang
lebih besar dan hany berhak memperoleh bagian yang minimal, maka dia meng-
ambilnya;
dan sisanya dikembalikan kepada ahli waris. Apabila dia lahir dalam
keadaan
mati, maka dia tidak berhak sedikitpun; dan semua harta peninggalan
dibagikan
kepada ahli waris tanpa memeperhatikan kandungan itu.
16.4.
BATAS WAKTU MAKSIMAL DAN MINIMAL BAGI KANDUNGAN
Batas waktu minimal terbentuknya janin dan
dilahirkan dalam keadaan hidup
adalah
enam bulan, karena firman Allah SWT:
"Dan
mengadungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan" (S. Al-Ahqoof 15)
"Dan menyapihnya dalam dua tahun" (S. Luqmaan
14).
Apabila
menyapihnya dua tahun, maka tidak ada sia lagi selain enam bulan
untuk mengandung. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur
fuqoha.
Berkata Al-Kamal ibnul Hamam, salah
seorang imam golongan Hanafi, "Sesung-
guhnya
kebiasaan yang berlaku ialah bahwa keadaan kandungan itu lebih banyak
dari
enam bulan, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun pun tidak didengar adanya
kelahiran
kandungan dalam umur enam bulan."
Pendapat sebagian orang-orang Hambali ialah
batas waktu minimal dari
kandungan
adalah sembilan bulan.
Undang-undang Warisan Mesir bertentangan
dengan pendapat jumhur ulama dan
mengambil pendapat dari sebagian orang-orang Hambali dan
pendapat para dokter
resmi, yaitu bahwa batas minimal dari kandungan adalah
sembilan bulan Qomariyah
yakni 270 hari, karena yang demikian itu sesuai dengan
apa yang banyak sekali
terjadi.
Sebagaimana mereka
berselisih pendapat tentang batas minimal waktu
mengandung, maka merekapun berselisih pula tentang batas
maksimalnya. Di antara
mereka ada yang berpendapat dua tahun. Ada pula yang
berpendapat sembilan bulan.
Sedang yang lainnya mengatakan satu tahun Qomariyah
(354 hari). Dan undang-
undang yang disarankan oleh para dokter resmi.
Maka disebutkanlah bahwa batas waktu maksimal dari
kandungan adalah satu tahun
Syamsiyyah (365 hari); dan yang demikian ini dipegangi
dalam menatapkan nasab,
pewarisan,
wakaf dan wasiat.
Adapun undang-undang warisan, maka ia
mengambil pendapat Abu Yusuf yang
memberikan
fatwa pada mazhab bahwa kandungan itu diberi bagian maksimal dari
dua
kemungkinan dan mengambil pendapat tiga orang imam dalam mempersyaratkan
dilahirkannya
kandungan secara keseluruhan dalam keadaan hidup untuk dapat
memperoleh
hak warisannya.
Undang-undang juga mengambil pendapat
Muhammad ibnul Hikam yang menyatakan
bahwa
kandungan itu tidak mewarisi kecuali bila dia dilahirkan dalam batas
waktu satu tahun sejak tanggal kematian atau perceraian
antara ayahnya dan
ibunya.
Termuat dalam
fasal-fasal 42, 43, dan 44 sebagai berikut :
Fasal 42: Ditahan demi kandungan harta peninggalan si
mayit yaitu dua bagian
maksimal menurut perkiraan bahwa yang dilahirkan itu
laki-laki atau perempuan.
Fasal
43: Bila seorang laki-laki mati dengan meninggalkan isterinya yang sedang
'iddah,
maka kandungannya tidak dapat mewarisi kecuali bila dia dilahirkan
dalam
keadaan hidup, dan masa kelahiran maksimal 365
haridari tanggal kematian
atau
perceraian. Kandungan tidak mewarisi selain ayahnya, kecuali dalam dua
keadaan
berikut :
1 Bila
dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 365 hari
dari tanggal kematian atau perceraian, bila ibunya
ber'iddah karena kematian
atau perceraian,
dan orang yang mewariskan mati di tengah 'iddah.
2 Bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas
waktu maksimal 270 hari
dari tanggal
kematian orang yang mewariskan, jika dia lahir dari perkawinan
yang masih utuh di saat kematian.
Fasal
44: Apabila yang ditahan untuk kandungan itu kurang dari hak yang semes-
tinya
diterima, maka ahli warisyang mendapatkan bagian wajib mengembalikan
sisanya
untuk sang janin. Dan bola yang ditahan untuk kandungan itu lebih dari
hak
yang semestinya diterima, maka kelebihan itu dikembalikan kepada ahli waris
yang
berhak menerimanya.
Sumber :
Fiqh Sunnah jilid 14
Karangan : As-Sayyid Sabiq
Cetakan 2 -- Bandung: Alma'arif, 1988